Sukses Ala Susilo

Situs Tips Sukses Ala Susilo

Monday, December 12, 2022

Wednesday, December 07, 2011
Monday, November 10, 2003

Is That So?
A beautiful girl in the village was pregnant. Her angry parents demanded to know who was the father. At first resistant to confess, the anxious and embarrassed girl finally pointed to Hakuin, the Zen master whom everyone previously revered for living such a pure life. When the outraged parents confronted Hakuin with their daughter's accusation, he simply replied "Is that so?"
When the child was born, the parents brought it to the Hakuin, who now was viewed as a pariah by the whole village. They demanded that he take care of the child since it was his responsibility. "Is that so?" Hakuin said calmly as he accepted the child.
For many months he took very good care of the child until the daughter could no longer withstand the lie she had told. She confessed that the real father was a young man in the village whom she had tried to protect. The parents immediately went to Hakuin to see if he would return the baby. With profuse apologies they explained what had happened. "Is that so?" Hakuin said as he handed them the child.

Begitu?
Seorang bocah ayu di desa itu hamil. Orangtuanya yang marah mendesaknya untuk menunjukkan siapa ayah bayi dalam kandungan itu. Semula dia menolak untuk menyebutkan nama ayah calon bayinya itu, namun akhirnya bocah ayu yang bingung dan tertekan itu menunjukkan Sastro, seorang guru yang sangat dikenal orang sebagai teladan untuk kehidupan yang murni. Ketika orangtua yang marah itu menanyai Sastro perihal pengakuan anak gadis mereka, dia menyaut ringan "Begitu?"
Waktu si bayi lahir, kedua orangtua itu menyerahkannya pada Sastro, yang kini dianggap sebagai orang yang murtad oleh seluruh penduduk desa. Mereka menuntutnya merawat bayi itu sebagai tanggung-jawabnya. "Begitu?" Ujar Sastro pelahan saat dia menerima bayi itu.
Selama beberapa bulan dia merawat bayi itu dengan baik sampai si bocah ayu tidak sanggup lagi menyimpan kebohongan yang ia katakan sebelumnya. Ia pun mengakui bahwa ayah bayi itu sesungguhnya seorang pemuda desa itu yang coba dilindunginya. Kedua orangtua itu segera mendatangi Sastro untuk meminta kembali bayi itu. Dengan penyesalan mendalam mereka menjelaskan duduk persoalannya. "Begitu?" Ujar Sastro seraya menyerahkan bayi itu pada mereka.

151103

Thursday, November 06, 2003

Christian Buddha
One of master Gasan's monks visited the university in Tokyo. When he returned, he asked the master if he had ever read the Christian Bible. "No," Gasan replied, "Please read some of it to me." The monk opened the Bible to the Sermon on the Mount in St. Matthew, and began reading. After reading Christ's words about the lilies;
Consider the lilies of the field,
how they grow;
They toil not, neither do they spin;
And yet I say unto you,
that even Solomon in all his glory
was not arrayed like one of these.

in the field, he paused. Master Gasan was silent for a long time. "Yes," he finally said, "Whoever uttered these words is an enlightened being. What you have read to me is the essence of everything I have been trying to teach you here!"

Budha Kristiani
Salah seorang biarawan guru Gasan berkunjung ke Universitas Tokyo. Waktu dia kembali, dia tanyai sang guru apakah beliau pernah membaca Injil Kristen. "Tidak," jawab Gasan, "Tolong bacakan sebagian darinya untukmu." Biarawan itu membuka Injil Matius, Kotbah di bukit, dan mulai membaca. Setelah membaca ucapan Kristus tentang bunga lily;
Perhatikan bunga lily di kebun,
bagaimana mereka tumbuh;
Mereka tidak keras, ataupun berduri;
Dan sebelumnya aku katakan padamu,
bahwa bahkan Sulaiman dengan segala kemuliaannya
tak seindah salah satu dari mereka.

di taman, dia berhenti. Guru Gasan terdiam beberapa lama. "Ya," ujarnya kemudian, "siapa pun yang telah menyampaikan kata-kata seperti itu pastilah orang yang tercerahkan. Apa yang telah kau bacakan untukku adalah inti dari semua yang hendak aku ajarkan padamu di sini!"

Tuesday, November 04, 2003

Holy Man
--------------------------------------------------------------------------------
Word spread across the countryside about the wise Holy Man who lived in a small house atop the mountain. A man from the village decided to make the long and difficult journey to visit him. When he arrived at the house, he saw an old servant inside who greeted him at the door. "I would like to see the wise Holy Man," he said to the servant. The servant smiled and led him inside. As they walked through the house, the man from the village looked eagerly around the house, anticipating his encounter with the Holy Man. Before he knew it, he had been led to the back door and escorted outside. He stopped and turned to the servant, "But I want to see the Holy Man!"

"You already have," said the old man. "Everyone you may meet in life, even if they appear plain and insignificant... see each of them as a wise Holy Man. If you do this, then whatever problem you brought here today will be solved."

Orang Kudus
--------------------------------------------------------------------------------
Tersebar luas di seluruh desa tentang adanya seorang Lelaki Kudus bijaksana yang tinggal di sebuah rumah kecil di puncak gunung. Seorang lelaki dari desa itu memutuskan melakukan perjalanan jauh dan sulit untuk menemui si lelaki kudus. Sesampai di rumah itu, dari dalam rumah itu dia melihat seorang pelayan tua yang menyambut di pintu. "Saya ingin menemui si lelaki suci," ujarnya pada pelayan itu. Si pelayan tersenyum dan mengantarnya masuk. Selama berjalan melintasi rumah itu, si lelaki dari desa itu melihat sekeliling rumah, berharap kalau-kalau bertemu dengan Lelaki Kudus itu. Sebelum dia menyadarinya, dia telah diantarkan sampai di pintu belakang dan ladang di luar. Dia berhenti dan berbalik pada si pelayan, "Lho, aku ini mau ketemu Lelaki Suci itu!"
"Anda telah menemuinya," kata pelayan tua itu. "Setiap orang yang mungkin kau temui sepanjang hidup anda, sekalipun mereka tampak sederhana dan tidak mengesankan... anggaplah dia sebagai seorang Manusia Bijak. Jika anda melakukannya, maka apa pun masalah yang anda dapat hari ini akan terselesaikan."

surabaya

Sunday, November 02, 2003

Seorang cantrik menghadap guru samadhinya dan berkata, "Samadhiku
sangat mengerikan! Aku merasa sangat kelelahan, kedua kakiku serasa
lumpuh, kalau tidak berangsur-angsur aku jatuh tertidur. Samadhiku
sangat mengerikan!"
"Itu bakal lewat," ujar gurunya begitu saja.

Seminggu kemudian, cantrik itu datang lagi. "Samadhiku sangat
menakjubkan! Aku merasa begitu penuh kesadaran, begitu damai, begitu
hidup! Samadhiku sangat menakjubkan!"
"Itu bakal lewat," ujar gurunya begitu saja.

Friday, October 31, 2003

Seorang guru Zen yang telah tua kesehatannya sedang sangat menurun. Menyadari kalau kematiannya sudah dekat, ia mengumumkan pada semua biarawan kalau dia akan mewariskan jubah dan mangkuk nasinya pada pemimpin baru biara itu. Pemilihannya, ujar guru tua itu, nanti berdasarkan sebuah perlombaan. Semua orang yang menghadiri pertemuan itu diminta menunjukkan kebajikannya dengan mengajukan sebuah puisi.
Kepala biarawan, calon pengganti utamanya, menghadirkan sebuah puisi
Tubuh adalah pohon dari bodhi, 
benak serupa kilau cahaya cermin.
usaplah dengan teratur, bahkan dengan kecerdasan yang selalu waspada
jagalah agar tak tercemari oleh debu dunia.


yang tersusun bagus dan sangat mengilhami . Segenap biarawan mengira dialah yang terpilih sebagai pimpinan baru mereka. Namun, esok paginya sebuah puisi lain
Pada dasarnya tak ada pohon bodhi
atau kilauan cahaya cermin.
Kalau dari semula semuanya adalah kehampaan,
dimanakah debu bisa tercerahkan?


tertempel di dinding lorong menuju aula, sepertinya dituliskan pada saat-saat yang gelap semalam. Puisi itu mengejutkan semua biarawan dengan keanggunan dan kedalamannya tapi tak seorang pun mengetahui penulisnya.
Terdorong untuk menemukan penulisnya, maka sang guru tua pun mulai menanyai semua biarawan. Mengherankannya, penyelidikan itu mengarahkan mereka pada pesuruh dapur yang agak pendiam yang biasa memasak nasi santapan mereka.
Begitu mendengar kabar ini, kepala biarawan yang cemburu dan para kambradnya berencana untuk membunuh saingan mereka ini. Diam-diam, sang guru tua mewariskan jubah dan mangkuk nasinya pada si penanak nasi, yang segera kabur dari biara, kemudian menjadi guru Zen yang sangat ternama.

Rombongnya

Arsif